Latour, Sains dan AI
Oleh : Dimitri Mahayana
Di sebuah kota pesisir yang ramai, para pembuat kebijakan, ilmuwan, dan pengusaha teknologi berkumpul untuk mengatasi kenaikan permukaan air laut yang mengancam kota tersebut. Berbekal model prediksi, analitik data besar, dan solusi berbasis kecerdasan buatan (AI), mereka mengusulkan pembangunan tembok laut raksasa yang dilengkapi sensor pintar untuk memantau pasang surut dan erosi.
Proyek ini dipuji sebagai kemenangan sains dan teknologi modern—mimpi positivis di mana pengukuran presisi dan solusi rekayasa akan menaklukkan kekacauan alam. Namun, bertahun-tahun kemudian, tembok laut itu gagal. AI tidak mampu mempertimbangkan dinamika sosial yang tak terduga: pengetahuan nelayan lokal diabaikan, komunitas adat terusir, dan jaringan ekologi mangrove serta kehidupan laut terganggu.
Transformasi digital kota, yang dimaksudkan untuk menyederhanakan tata kelola, justru memperdalam ketimpangan, karena akses ke sistem pintar hanya menguntungkan kelompok kaya. Paradigma kemajuan modern—yang memisahkan alam dari budaya, manusia dari non-manusia, dan data dari pengalaman hidup—runtuh di bawah beban kekurangannya sendiri.
Kisah ini mencerminkan kegagalan positivisme modern, sebuah pandangan dunia yang dikritik oleh Bruno Latour sepanjang kariernya. Dalam We Have Never Been Modern (1991), Latour berargumen bahwa pemisahan kaku modernitas—antara manusia dan non-manusia, sains dan masyarakat, alam dan budaya—adalah buatan dan tidak berkelanjutan.
Pemisahan ini telah memicu krisis seperti perubahan iklim, penerapan AI yang keliru, dan transformasi digital yang tidak merata. Filsafat Latour, khususnya Teori Aktor-Jaringan (Actor-Network Theory/ANT) dan politik ekologi, menawarkan jalan keluar dengan merangkul hibriditas, keterkaitan, dan bahkan dimensi spiritual dalam memikirkan ulang tantangan-tantangan ini.
Siapa Latour?
Bruno Latour adalah salah satu tokoh sentral dalam studi Sains dan Teknologi (STS). Dalam karyanya yang monumental, We Have Never Been Modern (1991), ia mengusulkan bahwa pembedaan antara “alam” dan “masyarakat”—sebuah fondasi dalam sains modern—adalah ilusi. Latour menunjukkan bahwa fakta ilmiah bukan “ditemukan” secara objektif, tetapi dibangun melalui jaringan laboratorium, perangkat teknologi, dan institusi sosial. Bersama Steve Woolgar, ia menulis Laboratory Life, yang secara provokatif membongkar praktik-praktik saintifik sebagai aktivitas manusiawi yang mirip dengan ritual dan narasi dalam masyarakat tradisional.
Latour adalah profesor di Sciences Po Paris, di mana ia juga menjabat sebagai direktur Medialab, serta sebelumnya berkiprah di École des Mines de Paris. Pada tahun 2013, ia memenangkan Holberg Prize, setara dengan Nobel dalam bidang humaniora, dan pada dekade terakhir hidupnya ia secara luas diakui sebagai salah satu pemikir paling berpengaruh di dunia—baik dalam filsafat, sosiologi, antropologi, hingga ekologi. Pandangannya tentang non-modernity, actant-network theory, dan rekonstruksi hubungan manusia dan alam, menjadi rujukan penting dalam krisis iklim, post-humanisme, dan filsafat kontemporer.
Latour lahir di Beaune, Prancis, pada tahun 1947—kota kecil penghasil anggur di wilayah Burgundy yang tenang. Sebagai anak dari keluarga pembuat wine selama beberapa generasi, Latour dibesarkan dalam dunia yang perlahan, penuh musim dan ritme alam. Di antara tong-tong kayu ek yang menua bersama fermentasi, ia belajar bahwa segala sesuatu terhubung—tanah, cuaca, tangan manusia, bahkan waktu.
Saat remaja, ia tidak bercita-cita menjadi ilmuwan atau filsuf, tetapi tertarik pada dunia seperti seseorang tertarik pada cahaya samar dari ruangan tetangga: dengan rasa ingin tahu yang malu-malu. Ia belajar filsafat dan antropologi, lalu diam-diam mulai menggeser batas antara ilmu dan kehidupan, sains dan spiritualitas, fakta dan cerita.
Puncak karyanya datang ketika dunia sedang mabuk pada objektivitas: Latour menunjukkan bahwa sains tak pernah sepenuhnya objektif—ia dibangun oleh jaringan manusia dan non-manusia, oleh alat laboratorium dan argumen, oleh politik dan kepercayaan. Dan ketika ia wafat pada 9 Oktober 2022, di Paris, dunia tidak kehilangan seorang akademisi, tetapi seorang penenun jaringan realitas. Ia pergi seperti embun pagi: tak riuh, tapi meninggalkan basah yang tak segera hilang.
Kritik Latour terhadap Modernitas dan Positivisme
Tesis utama Latour adalah bahwa upaya modernitas untuk memurnikan dunia ke dalam kategori-kategori rapi—manusia versus alam, fakta versus nilai—telah membutakan kita terhadap jaringan kompleks yang membentuk realitas. Dalam konteks perubahan iklim, sains positivis sering mereduksi krisis menjadi variabel-variabel terukur seperti emisi karbon atau kenaikan suhu, mengesampingkan keterkaitan sosial, budaya, dan ekologi. Misalnya, model iklim dapat memprediksi banjir tetapi gagal mempertimbangkan agensi ekosistem lokal atau pengetahuan komunitas yang hidup bersama alam.
Demikian pula, dalam AI dan transformasi digital, paradigma positivis mengutamakan efisiensi dan solusi berbasis data, sering kali mengabaikan konsekuensi etis, sosial, dan ekologi. Sistem AI, yang dirancang untuk mengoptimalkan proses, dapat memperkuat bias atau mengasingkan kelompok marginal jika mengabaikan faktor-faktor tak terukur seperti nilai budaya atau intuisi manusia. Transformasi digital, meski menjanjikan konektivitas, sering memperlebar kesenjangan ketika teknologi diterapkan tanpa mempertimbangkan konteks lokal atau aktor non-manusia seperti infrastruktur atau sumber daya alam.
Dalam Science in Action (1987), Latour mengungkap bagaimana fakta ilmiah dan sistem teknologi bukanlah kebenaran objektif, melainkan produk dari jaringan yang melibatkan manusia (ilmuwan, pembuat kebijakan) dan non-manusia (alat, ekosistem). Kegagalan tembok laut dalam kisah kita mencerminkan hal ini: proyek tersebut mengabaikan jaringan nelayan, mangrove, dan pasang surut sebagai aktor bersama dalam sistem. Teori Aktor-Jaringan (ANT) Latour menegaskan bahwa semua entitas—manusia, teknologi, atau alam—memiliki agensi dan harus dipertimbangkan secara bersama-sama.
Bumi Sebagai Rumah Bersama
Melawan dikotomi modernitas, Latour mengusulkan konsep Terrestrial—bumi sebagai rumah bersama. Dalam Facing Gaia (2017) dan Down to Earth (2018), ia menggambarkan dunia bukan sebagai peta, tetapi sebagai jalinan kehidupan yang saling terkait. Dalam dunia ini, sungai punya suara, hutan punya kehendak, dan teknologi bukan raja tapi tetangga.
Solusi iklim bukanlah lebih banyak AI, tetapi lebih banyak mendengar: pada tanah, pada langit, pada mereka yang hidup di pinggir. Teknologi harus dirancang seperti kita menanam pohon: dengan kesabaran, pemahaman lokal, dan kesadaran bahwa ia tumbuh dalam ekosistem, bukan di ruang hampa.
Koreksi Terhadap Metoda Ilmiah
Filsafat Sains Jaringan Aktor (Actor-Network Theory/ANT) Bruno Latour menawarkan pendekatan revolusioner untuk memahami sains melalui lensa ontologi, epistemologi, dan aksiologi yang unik. Secara ontologis, ANT menolak pemisahan modern antara manusia dan non-manusia (teknologi, alam), memandang realitas sebagai jaringan hibrida di mana semua aktor memiliki agensi (We Have Never Been Modern, 1991). Epistemologinya memposisikan pengetahuan sebagai hasil konstruksi sosial-material melalui interaksi dalam jaringan, bukan cerminan realitas objektif (Science in Action, 1987). Secara aksiologis, ANT menekankan nilai keseimbangan dan keadilan dalam hubungan antar-aktor, menghormati kontribusi manusia dan non-manusia. Asumsi lain seperti simetri (tidak ada hierarki antara aktor) dan relasionalitas (agensi muncul dari hubungan) memperkuat pendekatan anti-reduksionis, yang memandang sains sebagai proses negosiasi kompleks antara ilmuwan, alat, dan konteks sosial.
Pengaruh ANT terhadap metode ilmiah adalah koreksi terhadap positivisme yang mengutamakan objektivitas dan isolasi variabel. Latour menunjukkan bahwa metode ilmiah tidak netral, melainkan tertanam dalam jaringan aktor yang saling memengaruhi, seperti laboratorium, pendanaan, dan wacana sosial (Laboratory Life, 1979). Dengan demikian, ANT mendorong metode ilmiah yang lebih inklusif, yang mempertimbangkan keterlibatan non-manusia dan konteks sosial, serta menghindari reduksi sains menjadi fakta terisolasi. Pendekatan ini relevan untuk isu seperti perubahan iklim, di mana metode ilmiah harus mengintegrasikan pengetahuan lokal dan ekosistem sebagai aktor, memastikan solusi yang holistik dan berkelanjutan.
Keheningan dan Doa
Berbeda dengan rasionalitas kering para modernis, Latour membuka ruang bagi keheningan, doa, dan hubungan spiritual. Dalam Rejoicing (2013), ia menulis bukan sebagai ilmuwan, tetapi sebagai manusia yang percaya bahwa bahasa iman bukanlah lawan dari akal. Ia menyebut spiritualitas sebagai “cara eksistensi,” bukan sistem kepercayaan.
Dalam konteks iklim, AI, dan transformasi digital, keterbukaan Latour terhadap spiritualitas menunjukkan bahwa pertanyaan etis dan eksistensial—yang sering berakar pada keimanan atau nilai transenden—adalah esensial. Misalnya, spiritualitas yang memandang tanah sebagai sesuatu yang sakral dapat memandu kebijakan iklim, memastikan penghormatan terhadap aktor non-manusia. Tanah dan semesta, -dari sudut pandang ruhaniah-, hidup dan memuji Tuhan, sebagaimana makhluk-makhluk lain. Pengakuan Latour terhadap aktor non-manusia mungkin bisa dilihat sebagai semacam panpsychism yang dipercaya banyak pemikir, - bisa jadi mayoritas filosof dan saintis-, dari jaman Plato hingga Roger Penrose.
Dalam etika AI, kerangka spiritual mungkin menekankan kerendahan hati dan keterkaitan, menantang kesombongan menciptakan sistem otonom tanpa mempertimbangkan dampaknya pada martabat manusia atau keseimbangan ekologi. Transformasi digital juga bisa memanfaatkan nilai-nilai transenden untuk mengutamakan komunitas, kepedulian, dan keadilan di atas keuntungan atau efisiensi.
Penerimaan Latour terhadap spiritualitas mengakui bahwa manusia bukan sekadar aktor rasional. Keimanan dan transendensi memberikan makna dan memotivasi tindakan dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh data saja. Misalnya, hubungan emosional dan spiritual dengan hutan mungkin mendorong upaya konservasi lebih efektif daripada model statistik. Dengan mengintegrasikan dimensi-dimensi ini, kerangka Latour memperkaya respons kita terhadap tantangan global, menjadikannya lebih inklusif dan holistik.
Jalan Baru ke Depan
Tembok laut yang roboh adalah simbol dari impian modernitas yang tak mengenal batas. Tapi Latour mengajarkan bahwa batas justru perlu—bukan sebagai tembok, tetapi sebagai pengingat bahwa kita tak sendiri. Setiap teknologi adalah keputusan etis. Setiap data adalah tafsir. Dan setiap kebijakan harus didiskusikan tidak hanya dengan manusia, tetapi dengan tanah, air, dan langit.
Latour tidak membangun teori untuk menara gading. Ia membangun jembatan. Di antara sains dan seni. Di antara data dan doa. Di antara manusia dan yang bukan. Warisannya adalah undangan: untuk hidup lebih pelan, lebih mendalam, dan lebih terhubung.
“Dunia bukan teka-teki untuk dipecahkan,” seolah ia pernah berkata dalam sunyi,
“tetapi rumah yang rapuh, yang meminta kita kembali.
Bandung, 28 Juli 2025
Nikmati bacaan menarik lainnya Bila Heidegger Membangun Metoda Ilmiah